وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ
Artinya: “Dan memohonlah karunia Allah” (An-Nisa’:32)
==
وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ
Artinya: “Dan hanya kepada Robb-mulah hendaknya kamu berharap” (Al-Insyiroh:8)
source
http://belajarislam.com/hadits/899-antara-hutang-dan-tawakal
Oleh Ustadz Rizki Narendra (Mahasiswa Universitas Islam Madinah)
Bismillah wal hamdulillah washolatu wasalamu ‘ala rosulillah, wa ba’du:
Memiliki hutang bukanlah kondisi yang menyenangkan. Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam- sendiri bahkan berlindung kepada Allah ta'ala dari hutang seraya berkata:
« إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ »
Artinya: “seseorang jika sudah berhutang dia akan berbohong ketika berkata, dan menyelisihi ketika berjanji” (HR. Abu Dawud)
Maksudnya disini adalah: kemungkinan dia untuk berdusta dan menyelisihi janji sangatlah besar karena biasanya ketika dia merasa kesulitan melunasi hutang dia harus menggunakan berbagai cara untuk menunda-nunda pembayaran termasuk berbohong dan mengingkari janji.
Hadist diatas sudah cukup sebagai alasan bagi seorang muslim untuk sebisa mungkin menghindari hutang. Namun seiring desakan kebutuhan hidup terkadang kita terpaksa harus berhutang. Syukurlah kalau hutangnya hanya sebatas kemampuan kita, tapi bagaimana jadinya kalau sudah sampai diluar batas kemampuan kita untuk melunasi? Dalam hal ini, agama islam yang hanif ini memberi solusi bagi umatnya.
أتا علياًّ - رضي الله عنه – رجلٌِ فَقَالَ :يَا أَمِيرَ المُؤمِنِينَ، إنِّي عَجِزْتُ عَنْ مُكِتَابَتِي فَأعِنِّي ، قَالَ : ألا أُعَلِّمُكَ كَلِماتٍ عَلَّمَنِيهنَّ رسُولُ الله - صلى الله عليه وسلم - لَوْ كَانَ عَلَيْكَ مِثْلُ جَبَلِ صِيرٍ دَيْناً أدَّاهُ اللهُ عَنْكَ ؟ قَالَ :بلى، قال: قُلْ : « اللَّهُمَّ اكْفِني بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ ، وَأغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِواكَ »
Terjemahan hadist:
Seorang lelaki mendatangi khalifah Ali bin Abi Tholib seraya berkata: wahai amirul mu’minin, aku tidak sanggup membayar biaya “mukatabah” diriku, maka bantulah aku. Ali bin Abi Tholib berkata: maukah kamu aku ajarkan sebuah doa yang pernah Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam- ajarkan kepadaku yang dengan doa itu Allah ta’ala akan membantumu melunasi hutangmu walaupun sebesar gunung Shiir? Lelaki itu menjawab: tentu. Kemudian Ali bin Abi Tholib berkata: ucapkanlah:
« اللَّهُمَّ اكْفِني بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ ، وَأغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِواكَ »
(ya Allah cukupkanlah diriku dengan perkara halal dari yang haram, dan jadikanlah aku -- dengan karunia darimu - tidak membutuhkan siapapun selain Engkau)
Takhrijul hadist (Penjelasan riwayat hadist):
Hadist diatas diriwayatkan oleh imam Tirmidzi no.3563 dan beliau berkata: “hadis ini hasan ghorib”, dan diriwayatkan pula oleh imam Al-Hakim (1/538) dan beliau berkata: sanad hadist ini dan tidak diriwayatkan oleh bukahori dan mulim, dan disepakati oleh imam Adz-Dzahabi.
Penjelasan kata-kata asing dalam hadist:
Mukatabah: sebuah akad penebusan diri seorang budak dengan membayar sejumlah uang kepada majikannya cara mengangsur atau menyicil, kalau angsuran tersebut sudah mencapai harga yang disepakati maka budak tersebut merdeka. Contohnya: bila engkau membayar seribu dinar kepadaku dengan menyicil seratus dinar tiap bulannya maka engkau merdeka. Wallahu a’lam.
Shiir: nama sebuah gunung di semenanjung arab
Syarah hadist (penjelasan hadist):
Pada suatu hari seorang budak datang kepada sahabat ‘Ali bun Abi Tholib yang ketika itu sedang menjabat sebagi khalifah. Budak itu mengeluhkan perihal hutang “mukatabah”nya kepada majikannya yang tak kunjung lunas entah karena terlalu mahal atau karena sang budak merasa sulit memperoleh mata pencaharian dengan hasil mencukupi untung melunasi “mukatabah” itu. Maka Ali bin Abi Tholib memberikan jawaban yang membuktikan bahwa dia memang pemimpin sejati, seorang pemimpin yang tidak hanya piawai mengatur hal-hal yang bersifat material tapi juga menjadi seorang “murobbi” pembimbing rakyatnya dalam menjalankan kehidupan spiritual. Beliau merespon keluahan budak itu bukan dengan memberikan uang tunai agar hutangnya selesai, padahal sebagai seorang khalifah beliau bisa saja melunasi hutang budak itu dari dana Baitul mal. Beliau justru mengajarkannya sebuah doa yang beliau pelajari dari Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam- dengan jaminan bahwa dengan mengamalkan doa tersebut Allah ta’aal akan memberikan dia pertolongan untuk melunasi hutang seberapa basar hutangnya itu.
Dengan mengajarkan doa tersebut beliau ingin menanamkan dalam jiwa lelaki ini salah satu sifat yang menjadi penyebab dibukanya pintu rizki dan dimudahkannya berbagai urusan, yaitu sikap tawakkal kepada Allah ta'ala, sebagaimana tersurat dalam firman-Nya:
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
Artinya: “dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah maka itu sudah cukup baginya” (Ath-Tholaq:3)
Salah satu implementasi sikap tawakkal adalah dengan menjadikan Allah ta’ala sebagai tempat mengadu pertama kali ketika terjadi masalah dan bukan makhluk-Nya.
Dengan mengucapkan doa ini seorang muslim memohon kepada Allah ta'ala dua hal yang menjadi esensi sikap tawakal yaitu: pertama qona’ah (merasa cukup) dengan perkara yang halal sehingga tidak memerlukan yang haram, dan yang kedua qona’ah dengan apa yang diberikan Allah ta'ala sehingga tidak menggantukan diri kepada orang lain. Singkatnya, ketika seseorang keluar dari tempat tinggalnya untuk bekerja memenuhi kebutuhan hidupnya dengan berbekal mencari kedua hal diatas maka Allah ta'ala akan menurunkan pertolongan kepadanya.
Ada beberapa pelajaran berharga yang dapat di petik dari hadis di atas, diantaranya:
1. sikap tawakal adalah salah satu sebab dibukanya pintu rizki, dalam hadit yang lain Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam- bersabda:
لَو أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقَ الطَيْرَ : تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا
Artinya: “Andai saja kalian bertawakal kepada Allah ta'ala dengan sebenar-benarnya tawakal pasti Dia akan mengkaruniakan kepada kalian rizki sebagaimana Dia mengkaruniakan rizki kepada burung, pergi dengan perut kosong dan pulang dalam perut terisi.” (HR. tirmidzi, hasan shohih)
Perlu digarisbawahi pula bahwa untuk melahirkan tawakal yang bisa mendatangkan pertolongan Allah ta'ala selain harus diiringi dengan kerja yang benar juga harus dibarengi dengan niat bersih. Sebagaimana sabda Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam-:
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّاهَا اللَّهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَهَا يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهَا اللَّهُ
Artinya: “Barangsiapa yang meminjam harta orang lain dan dia berniat untuk melunasinya maka Allah ta'ala akan (menolongnya untuk) melunasinya, dan barangsiapa yang meminjam harta orang lain dan dia berniat untuk merusaknya maka Allah ta'ala akan mebuat orang tersebut celaka” (HR.Bukhori)
2.Dalam hadist tersebut terdapat anjuran untuk mengharap karunia Allah ta'ala semata. Sebagaimana juga yang Allah ta'ala perintahkan dalam firman-Nya:
وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ
Artinya: “Dan memohonlah karunia Allah” (An-Nisa’:32)
Dan juga ayat yang lain:
وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ
Artinya: “Dan hanya kepada Robb-mulah hendaknya kamu berharap” (Al-Insyiroh:8)
Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam- juga pernah mewasiatkan hal senada kepada Abdullah bin abbas dalam sabdanya:
إِذَا سَأَلْتَ فَسَلِ اللَّهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ
Artinya: “jika engkau meminta maka mintalah (hanya) kepada Allah, dan jika kamu memohon pertolongan mohonlah hanya kepada Allah” (HR.Tirmidzi, hasan shohih ghorib)
Dalam mengomentari hadist ibnu abbas diatas, Imam Ibnu Rajab menerangkan hikmah dibalik perintah Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam- bahwasanya di dalam “meminta” tersirat rasa kerendahdirian dan rasa ketergantungan sang peminta disertai pengakuan bahwa yang di minta memiliki kemampuan untuk mendatangkan maslahat serta menolak mudharat, dan hal semacam ini tidak layak dipersembahkan kecuali kepada Allah ta'ala semata karena inilah esensi ibadah. (jami’ul ‘ulum wal hikam)
Dan salah satu doa yang pernah dilantukan oleh imam Ahmad adalah:
اللهمَّ كَمَا صُنْتَ وَجْهِيِ عَنِ السُّجُودِ لِغَيْرِكَ، فَصُنْ وَجْهِيِ عَنِ المَسْأَلَةِ لِغَيْرِكَ
Artinya: “Ya Allah, sebagaimana engkau telah menjaga wajahku ini dari sujud kepada selain-Mu, maka jagalah pula ia dari meminta kepada selain-Mu”
3. Sudah sepantasnya bagi seorang “murobi” untuk mengarahkan orang lain agar tidak bergantung kepada orang lain. Apa yang di lakukan Ali persis seperti apa yang dilakukan Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam- terhadap salah seorang anshor yang datang menemui beliau -sholallahu ‘alaihi wasalam- untuk meminta sedekah guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam- tidak memberinya harta, padahal bisa saja beliau -sholallahu ‘alaihi wasalam- berdoa agar Allah ta'ala agar memberikan harta seketika itu juga untuk disedekahkan. Tapi beliau -sholallahu ‘alaihi wasalam- mengarahkan lelaki anshor itu kepada hal yang lebih baik yaitu bekerja, karena dengan itu dia bisa lepas dari ketergantungan diri terhadap orang lain. Beliau berkata kepada sahabat anshor itu: “apa yang kamu punya di rumah?”, dia menjawab: “aku punya kain yang sebagian dipakai sebagai pakaian dan sebagian lagi digunakan sebagai alas, dan juga sebuah tempat minum air”, beliau berkata: “bawa kemari keduanya!”. Kemudian sahabat itu kembali dengan membawa kedua benda tersebut, lalu Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam- memegangnya dengan kedua tangannya seraya berkata kepada sahabat yang lain: “siapa yang mau membeli benda ini?”, salah seorang menjawab: “saya mau membelinya dengan harga satu dirham”, beliau berkata: “siapa yang mau membayar lebih dari satu dirham?”, beliau mengulanginya dua atau tiga kali hingga akhirnya salah seorang lain menjawab: “aku mau membelinya dengan dua dirham”, akhirnya Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam- menjualnya dengan harga dua dirham dan memberikanya kepada sahabat anshor tadi seraya berkata: “gunakan uang satu dirham ini untuk memenuhi kebutuhan keluargamu, sedang yang satu lagi gunakanlah untuk membeli beliung (mata kampak), setelah itu datang kembali kepadaku!”. Sahabat anshor menjalankan apa yang diperintahkan Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam- kemudian kembali sambil membawa beliung tadi. Lalu Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam- mengambil sebatang kayu dan mengikatkannya dengan beliung hingga berbentuk kampak dan berkata: “pergilah, cari kayu bakar kemudian jualah, dan jangan kembali lagi kepadaku kecuali setelah lima belas hari”. Kemudian sahabat anshor ini menjalankan apa yang diperintahkan Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam- dan setelah lima belas hari dia datang dengan membawa sepuluh dirham, sebagiannya dia gunakan intuk membeli pakaian dan sebagian lagi untuk membeli makanan. Melihat kondisinya itu Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam- bersabda: “bukankah ini lebih baik daripada kamu datang pada hari kiamat nanti dengan noda hitam diwajahmu karena meminta-minta?” (HR. Tirmidzi, Nasa’I, dan Ibnu Majah. Imam Tirmidzi berkata hadist ini hasan).
4. Salah satu metode yang baik dalam mengajar adalah dengan memberi tahu terlebih dahulu kepada orang yang diajar sebelum memulai pelajaran bahwasanya kita akan menyampaikan suatu pelajaran yang berharga. Dengan cara ini orang yang diajar aka terlebih mempersiapkan telinga dan pikirannya untuk menerima pelajaran yang akan disampaikan. Dan Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam- sangat sering menggunakan metode ini ketika menyampaikan pelajaran kepada para sahabatnya. Kalau kita buka lembaran-lembaran riwayat hadist kita akan temukan banyak sekali kalimat: “maukah aku tunjukan kepadamu?”, “maukah aku beri tahu?”, “maukah aku kabarkan kepadamu?”, dan kalimat-lakimat sejenisnya.
5. Harta yang halal mendatangkan keberkahan.
http://belajarislam.com/hadits/899-antara-hutang-dan-tawakal
Hajiku 1435H / 2014, Insya-Allah
10 years ago
No comments:
Post a Comment