“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari ‘alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling Pemurah, Yang mengajar manusia dengan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya” (QS Al-’Alaq [96]: 1-5).
Mengapa iqra, merupakan perintah pertama yang ditujukan kepada Nabi, padahal beliau seorang ummi (yang tidak pandai membaca dan menulis)? Mengapa demikian? Iqra’ terambil dari akar kata yang berarti “menghimpun,” sehingga tidak selalu harus diartikan “membaca teks tertulis dengan aksara tertentu.”
Dari “menghimpun” lahir aneka ragam makna, seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti mengetahui ciri sesuatu dan membaca, baik teks tertulis maupun tidak.
Iqra’ (Bacalah)! Tetapi apa yang harus dibaca? “Ma aqra’?” tanya Nabi –dalam suatu riwayat- setelah beliau kepayahan dirangkul dan diperintah membaca oleh malaikat Jibril a.s.
Pertanyaan itu tidak dijawab, karena Allah menghendaki agar beliau dan umatnya membaca apa saja, selama bacaan tersebut Bismi Rabbik; dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan.
Iqra’ berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu, bacalah alam, bacalah tanda-tanda zaman, sejarah, diri sendiri, yang tertulis dan tidak tertulis. Alhasil objek perintah iqra’ mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya.
Demikian terpadu dalam perintah ini segala macam cara yang dapat ditempuh manusia untuk meningkatkan kemampuannya. Pengulangan perintah membaca dalam wahyu pertama ini, bukan sekadar menunjukkan bahwa kecakapan membaca tidak diperoleh kecuali mengulang-ulangi bacaan, atau membaca hendaknya dilakukan sampai mencapai batas maksimal kemampuan, tetapi juga untuk mengisyaratkan bahwa mengulang-ulangi bacaan Bismi Rabbika (demi karena Allah) akan menghasilkan pengetahuan dan wawasan baru walaupun yang dibaca itu-itu juga.
Mengulang-ulang membaca ayat Al-Quran menimbulkan penafsiran baru, pengembangan gagasan, dan menambah kesucian jiwa serta kesejahteraan batin. Berulang-ulang “membaca” alam raya, membuka tabir rahasianya dan memperluas wawasan serta menambah kesejahteraan lahir. Ayat Al-Quran yang kita baca dewasa ini tak sedikit pun berbeda dengan ayat Al-Quran yang dibaca Rasul dan generasi terdahulu. Alam raya pun demikian, namun pemahaman, penemuan rahasianya, serta limpahan kesejahteraan-Nya terus berkembang, dan itulah pesan yang dikandung dalam Iqra’ wa Rabbukal akram (Bacalah dan Tuhanmulah yang paling Pemurah). Atas kemurahan-Nyalah kesejahteraan demi kesejahteraan tercapai.
Sungguh, perintah membaca merupakan sesuatu yang paling berharga yang pernah dan dapat diberikan kepada umat manusia. “Membaca” dalam aneka maknanya adalah syarat pertama dan utama pengembangan ilmu dan teknologi, serta syarat utama membangun peradaban. Semua peradaban yang berhasil bertahan lama, justru dimulai dari satu kitab (bacaan). Peradaban Yunani di mulai dengan Iliad karya Homer pada abad ke-9 sebelum Masehi. Ia berakhir dengan hadirnya Kitab Perjanjian Baru. Peradaban Eropa dimulai dengan karya Newton (1641-1727) dan berakhir dengan filsafat Hegel (1770-1831).
Peradaban Islam lahir dengan kehadiran Al-Quran. Astaghfirullah menunjuk masa akhirnya, karena kita yakin bahwa ia tidak akan lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan, selama umatnya ikut bersama Allah memeliharanya
“Sesungguhnya Kami (Allah bersama Jibril yang diperintahNya) menurunkan Al-Quran, dan Kami (yakni Allah dengan keterlibatan manusia) yang memeliharanya” (QS Al-Hijr [15]: 9).
Hajiku 1435H / 2014, Insya-Allah
10 years ago
No comments:
Post a Comment